Saya bukan penggemar film animasi. Sejak dulu, saya lebih suka film dengan alur cerita kompleks, akting manusia nyata, atau genre penuh aksi dan intrik. Jadi ketika diajak nonton film animasi Indonesia berjudul “Jumbo”, saya sempat menolak halus. Tapi setelah menonton, saya harus akui—film ini memberikan kejutan manis yang tidak saya duga.
“Jumbo” adalah film animasi petualangan fantasi karya Ryan Adriandhy. Nama ini mungkin lebih dikenal sebagai komika dan penulis naskah, namun kali ini Ryan menjajal peran baru sebagai sutradara film animasi—dan langsung menyuguhkan hasil yang patut diacungi jempol. Film ini juga menjadi debut Visinema Animation dalam produksi animasi panjang, dan hasilnya? Bikin saya yang skeptis jadi luluh.Cerita yang Ringan Tapi Mengena
Dari situlah petualangan dimulai. Bersama teman-temannya, Don menjelajahi dunia gaib, bertemu makhluk-makhluk aneh, dan menghadapi berbagai tantangan yang menguji keberanian dan kekompakan mereka.
Sebagai pria dewasa yang sudah kenyang dengan berbagai plot twist dan drama berat, saya pikir kisah seperti ini akan terlalu “anak-anak.” Tapi ternyata justru kesederhanaannya yang membuat ceritanya relatable. Kita semua pernah merasa tidak diterima, pernah diragukan, dan pernah ingin membuktikan bahwa kita mampu. “Jumbo” mengemas pesan ini dengan lembut, tanpa menggurui.
Visual yang Memanjakan Mata
Hal paling mencolok sejak awal film adalah kualitas animasinya. Ini bukan film animasi yang “asal jadi.” Warna-warnanya hidup, desain karakternya khas, dan dunia yang dibangun terasa magical tapi tetap punya unsur lokal yang hangat.
Menurut info yang saya baca, proyek ini digarap selama lima tahun dan melibatkan lebih dari 400 animator lokal. Itu bukan pekerjaan main-main. Dan memang terlihat hasilnya. Beberapa adegan bahkan membuat saya lupa kalau ini adalah film produksi dalam negeri. Detail latar Kampung Seruni—tempat Don tinggal—dan dunia gaib yang dijelajahi, terasa hidup dan imajinatif.
Biasanya saya menganggap animasi sebagai “hiburan anak-anak,” tapi film ini membuktikan bahwa animasi juga bisa jadi medium bercerita yang serius dan menyentuh.
Pengisi Suara dan Musik yang Kuat
Yang juga membuat saya tertarik adalah nama-nama pengisi suara di film ini. Ada Prince Poetiray sebagai Don, Quinn Salman sebagai Meri, Bunga Citra Lestari sebagai ibu Don, dan Ariel NOAH sebagai ayah Don. Semua karakter terdengar hidup. Tidak terasa kaku seperti beberapa film animasi lokal yang pernah saya tonton.
Musik dan sound design-nya juga patut diacungi jempol. Nuansa sedih, menegangkan, dan hangat dalam film ini berhasil ditunjang oleh scoring yang pas. Lagu-lagu pengiringnya tidak hanya menjadi tempelan, tapi ikut menguatkan emosi yang dibangun dalam cerita.
Sentuhan Lokal yang Tidak Dipaksakan
Satu hal yang saya suka dari Jumbo adalah bagaimana film ini menyelipkan unsur lokal tanpa terasa “menggurui” atau sekadar tempelan. Dunia gaib yang dihadirkan punya rasa Indonesia, dengan budaya, visual, dan karakter yang terasa akrab, tapi tetap segar. Film ini tidak berusaha menjadi “Pixar versi Indonesia.” Film ini adalah dirinya sendiri—dan itu adalah kekuatan utamanya.
Kita butuh lebih banyak film seperti ini: yang berani tampil beda, punya identitas, dan tetap bisa dinikmati semua kalangan.
Prestasi yang Membanggakan
Ternyata saya tidak sendirian dalam mengapresiasi film ini. Jumbo menjadi film animasi Indonesia pertama yang tayang serentak di 17 negara. Itu bukan pencapaian kecil. Di tengah dominasi film-film luar negeri, Jumbo hadir sebagai bukti bahwa industri animasi Indonesia punya potensi besar. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk semua umur—termasuk saya yang biasanya alergi film animasi.
Kesimpulan: Menembus Dinding Skeptis Saya
“Jumbo” adalah film yang berhasil menembus dinding skeptis saya terhadap film animasi. Ia tidak hanya bagus untuk ukuran film lokal—tapi bagus secara keseluruhan. Ceritanya kuat, visualnya indah, musiknya menyentuh, dan pesan moralnya dikemas tanpa terasa menggurui.
Kalau kamu seperti saya, yang lebih sering nonton film laga atau drama dewasa, coba beri kesempatan pada “Jumbo.” Film ini mungkin tidak akan mengubah selera kamu secara permanen, tapi setidaknya akan meninggalkan kesan hangat di hati. Dan mungkin, hanya mungkin, kamu akan mulai melihat animasi dengan cara yang berbeda.
Jadi, kalau akhir pekan ini kamu bingung mau nonton apa bersama keluarga, pasangan, atau bahkan sendirian—coba nonton “Jumbo.” Siapa tahu, kamu juga akan ikut jatuh hati seperti saya.